Monday, August 8, 2016

Armor Kopi Bandung

Minggu lalu ke Bandung Sachi nyempetin ke cafe ini. Maksudnya sih sekalian mau jalan-jalan di sekitar Taman Hutan Raya Juanda, nostalgia dulu uminya pernah pengamatan macaca aka monyet ekor panjang di situ. Ternyata stuck cukup lama di cafe ini hehehe.

Iya, Armor Kopi ini letaknya di area Taman Hutan Raya Juanda Bandung. Waktu perginya sempet kelewatan nyari-nyari, kirain di pinggir jalan deket-deket THR, ternyata beneran di dalamnya THR hahaha.

Setelah parkir dan beli tiket, kami langsung masuk. Begitu ngelewatin gerbang tinggal nengok kiri udah sampai deh di Armor. Sebenernya udaranya ga terlalu dingin siih, tapi lumayan sejuk, apalagi untuk orang Tangerang Selatan yang biasa kegerahan macam kami. Ditambah pohon-pohon cemara yang banyak dan lumayan padat, jadi nambah asik suasananya.

Settingan cafenya outdoor dan dibuat menyatu dengan alam sekitar. Mereka pakai kursi-kursi kayu, meja dari kayu utuh, dan disebar di area yang sedikit berkontur di tepi danau kecil. Waktu itu kami datang pagi sekitar pukul 09.00 WIB daann sudah rame hahaha. Awalnya dapet spot di atas di antara keramaian pengunjung, tapi pas iseng jalan-jalan ke bawah, nemu spot yang nyempil dan lebih sepi, akhirnya pindah deh.

Menunya, seperti namanya, mereka menyediakan kopi. Kopinya kopi hitam (saya lupa jenis-jenisnya maaf). Abi milih kopi hitam tanpa gula, saya pesan kopi hitam plus susu kental karena takut lambung ga kuat nerima kopi aja. Sachi ga pesan minum apa-apa karena bawa minum sendiri (air putih hehe), tapi dia sempat icip-icip kopi susu saya dan dia suka :)

Untuk cemilannya kami pesan pisang goreng keju dan cireng bumbu rujak. Cocok yaa untuk dimakan di udara sejuk kaya gini. Sachi juga doyan makannya. Cuma cirengnya lumayan besar porsinya (kalau ga salah 30 pcs satu porsi) jadi ga habis. Biasanya orang datang ke cafe ini rame-rame sih sama temen-temen, jadi satu porsi cukup. Oh iya pesannya pakai sistem dipanggil. Jadi pesan dulu baru nanti dipanggil namanya kalau pesanan sudah ready to serve.

Buat foto-foto, cafe ini bagus deh, instagramable banget hehehe. Sekarang di sebelahnya ada cafe baru dengan konsep serupa. Mungkin lama-lama jadi penuh cafe nih gerbang THR. Kapan-kapan main lagi ke sini.

View dari depan tempat memesan

Nungguin abi lagi pesan cemilan dan kopi

Seat di depan cafe

Spot di bagian bawah pas di samping banget danau

Kopi dan pisang goreng keju

Aku doyan pisang gorengnyaa

View dari seat di area bawah

Meja di area bawah

Tampak depannya Armor Kopi

Wednesday, June 1, 2016

Kamar Sachi (2)

Pertanyaan yang paling sering ditemukan setiap kali saya mengupload kamar Sachi, pasti ukuran house bednya, dan beli di mana. Sebenernya sudah beberapa kali saya jawab sih, tapi mungkin terlewat ya hehe. 

Kamar Sachi ini, seperti ruangan lain di rumah saya, style nya scandinavian. Dan sebenarnya, di luar negeri style ini sudah jamak sekali, dan bisa ditemukan dimana-mana. Mungkin karena di Indonesia masih jarang, jadi mungkin kaya aneh aja. Dan karena kebetulan yang sedang trend sekarang adalah warna monochrome, sebagian orang menyangka scandinavian itu selalu monochrome. Padahal nggak, scandi itu colorful juga :) Saya juga senang, sekarang bed house macam di kamar Sachi ini mulai banyak yang jual. Dulu, waktu abinya sachi iseng bikinin aka nukang sendiri aka DIY di tahun 2015, seingat saya belum ada yang jual (atau saya yang belum nemu). Kalau di luar negeri banyak. Tapi rasanya kok sayang mendatangkan rangka bed dari luar negeri dengan harga yang aduhai yang sebenarnya kalau dibikin sendiri tidak rumit dan tidak memakan biaya mahal. Beneran lho, budgetnya murah :)

Supaya praktis, saya rangkum saja beberapa pertanyaan mengenai kamar sachi yang sering saya baca di instagram Sachi ya

1. Ukuran bed house Sachi
Lebarnya 90cm, panjang 150cm. Tinggi tiang kolom 1 meter, tinggi atap 50cm. Bagian bawahnya los langsung ke lantai, saya lapisi karpet supaya bersih dan hangat. Untuk jenis kayunya saya kurang paham, takut salah kalau nebak-nebak hehe. Kasur saya beli di toko kasur biasa, harganya murah, dengan size 90 x 200cm, lalu saya potong sendiri (beneran dipotong) jadi 90 x 150cm supaya fit di bed house.

2. Dindingnya pakai wallpaper ya?
nggak pakai wallpaper, tapi wall sticker bentuk polkadot. 

3. Awan-awannya beli dimana?
Awan yang menggantung di langit-langit kamar Sachi ini saya bikin sendiri. Bahannya mudah didapat dan pengerjaannya relatif mudah. Cukup dari bola plastik, dakron, benang, dan lem. Kapan-kapan saya share cara pembuatannya :)

4. Gordennya beli di mana?
Di ikea. Ikea memang sering jadi pilihan pertama kalau saya lagi butuh perabot scandi harga relatif murah. Padahal sebenernya scandi itu tidak hanya ikea. Karena kebetulan ikea asalnya dari negara scandi dan baru buka di Indonesia jadi lagi populer sepertinya. Tapi hati-hati yaa, sekarang beberapa produk perintilan buatan designer scandi / small shop / small business ada yang dipalsukan. Contohnya, paperbag Tellkiddo. Jadi sebaiknya teliti dan double check sebelum membeli ;)

5. Perintilan dan mainan anak beli di mana?
Tiap barang biasanya beda-beda tempat belinya. Ada beberapa yang dari ELC, ikea. Sebagian besar lainnya saya berburu di onlineshop luar yang menjual perintilan scandi. Tapi karena saya sekarang suka iseng buka PO jadi bisa titip di saya aja kalau mau beli perintilan di kamar Sachi hehehe.

Baru segitu pertanyaan yang saya inget, next time saya kumpul-kumpulin lagi jawabannya;)




Sunday, May 22, 2016

Living in a Tiny House

Tinggal di rumah kecil (baca; liliput) memang tantangan tersediri ya. Apalagi kalau punya anak kecil seumuran sachi. Tapi setelah dijalanin, sebenernya punya space terbatas justeru memotivasi kita supaya lebih kreatif memanfaatkan ruang. Saya punya beberapa tips dasar untuk beradaptasi dengan space terbatas. Tips dari ibu rumah tangga yang sering ga ada kerjaan jadi sepanjang hari beberes terus hehe.

1. Beli furnitur yang berukuran kecil, supaya tidak menghabiskan tempat.
2. Pilih furnitur dan asesoris dengan design yang simple, clean dan ga terlalu berat. Kalaupun ada furnitur yang besar dan berat dari segi design seperti ukiran yang penuh, menurut saya jangan jadi item dominan di rumah.
3. Pilih cat dengan warna terang, sehingga ruangan terkesan luas. Kalaupun ada warna gelap di dinding, menurut saya bisa diaplikasikan di salah satu sisi saja.
4. Pilih perabot yang multifungsi, misalnya sofa merangkap tempat tidur, meja merangkap storage, stool merangkap meja coffee, dll.
5. Perbanyak storage untuk menampung perintilan, mainan anak, atau perabotan yang sedang tidak dipakai.
6. Manfaatkan dinding sebagai tempat penyimpanan, misalnya untuk menyusun buku dll.





Saturday, May 7, 2016

Order, sis!

Sebagai pembeli, kalau ketemu penjual online yang ramah itu, kadang kita yang tadinya mau beli satu jadi nambah lagi.

Sebagai penjual online, kalau ketemu pembeli yang ramah itu, kadang kita yang tadinya mau kasih harga normal jadi ngasih discount.

Memang godaan untuk jadi jutek itu luar biasa besar. Ketika mau beli, penjualnya jutek. Mau jual, pembelinya jutek. Kita (baca: saya) terbiasa skeptis dan reaktif terhadap perlakuan orang lain kepada kita. Tapi, hei itulah tantangannya. Why you have to be the same? Be different. Be kind. The world needs more smile :)


Thursday, April 21, 2016

Sachi's Room Tour Part 1

baru sempat foto beberapa sudut dan detail, next time saya tambahin lagi detail lainnya yaa :)









Sunday, April 17, 2016

Puasa Gadget



Sudah enam bulan ini Sachi puasa gadget. Gadget yang saya maksud di sini lebih megarah ke tablet dan handphone. Kebetulan dia tidak suka menonton televisi, dan saya tidak tahu kenapa. Televisi di mobil dia masih mau menonton, tapi intensitasnya kecil, dan tidak sampai pada tahap addict

Saya tidak anti gadget. Tidak sama sekali. Sebaliknya, saya justeru sangat mengandalkan dan membutuhkan teknologi ini. Sebagai seorang Work At Home Mom yang menjalankan sebuah small business berbasis online, sebut saja onlineshop, saya hampir sepanjang siang dan malam memegang gadget. Entah itu untuk menerima orderan dari customer, mengupload foto produk, membalas comment, atau sekedar chat dengan teman. Saya juga cukup aktif di sosial media seperti instagram dan path, dan setiap saat memerlukan gadget untuk memposting status.

Saya tidak pernah berkampanye anti gadget, dan tidak pernah mengajak secara sengaja ibu-ibu lain agar berhenti memberikan gadget untuk anaknya. Saya cukup paham bahwa perlakuan pada setiap anak itu berbeda, dan masing-masing orangtua memiliki metode spesifik tersendiri untuk anaknya. Saya justeru salut dengan anak-anak yang bisa memegang gadget tanpa ketergantungan. Banyak anak-anak yang bermain gadget tapi baik-baik saja, pintar, sehat, dan luwes bersosialisasi. Bisa mengontrol diri dan tidak berlebihan. Sayang Sachi tidak bisa seperti itu.

Seperti yang sudah saya ceritakan di atas, sebagai owner sebuah onlineshop, saya hampir sepanjang hari membalas orderan lewat gadget. Ada kalanya Sachi rewel dan minta ditemani main, atau sekedar mencari perhatian, sementara saya sendiri sedang ada di jam-jam rush hours. Untuk menenangkannya, saya sering memberikan gadget untuk Sachi, agar tidak ‘mengganggu’. Saya berikan Sachi akses ke youtube untuk menonton Pocoyo kartun kesukaannya, atau sekedar mendengarkan lagu anak-anak semacam Fingers Family. Sachi memang jadi tenang. Lebih dari itu, dia bahkan jadi fasih mengutak atik gadget. Pencet sana sini, memindahkan channel youtube, mengganti menu, bermain game, menghidupkan dan mematikan power, sampai hafal dengan passcode handphone saya.

Tapi kemudian kebiasaan ini sampai pada titik dimana saya merasa kami harus segera berhenti. Belakangan, Sachi jadi malas bermain keluar rumah bersama teman-temannya seperti yang biasa dia lakukan setiap hari sebelum kenal gadget. Dia juga jadi malas ngobrol dengan saya dan abinya. Dia jadi tidak mau tidur cepat karena malam hari asik dengan youtube. Dan dia jadi cenderung pemarah terutama jika dilarang memegang gadget.

Paralel dengan pengalaman saya, saya memiliki kerabat dekat yang anaknya didiagnosa speech delay, dengan alasan terlalu banyak terpapar gadget. Ayah dan ibunya sibuk bekerja, dan anaknya sehari-hari bersama ART di rumah yang tidak bisa setiap saat menemani si anak bermain karena harus mengerjakan tugas lain seperti memasak atau membereskan rumah. Gadget adalah solusi tercepat dan termudah untuk menenangkan anak. Akibatnya, di usia yang nyaris 6 tahun, dia belum bisa berbicara dengan jelas. Dan setelah berkonsultasi dengan dokter tumbuh kembang anak, ternyata gadget merupakan salah satu penyebabnya.
Kerabat saya ini berinisiatif memeriksakan anaknya setelah mendengar cerita dari temannya yang juga owner sebuah onlineshop laris yang anaknya juga didiagnosa speech delay di usia pra sekolah, dengan alasan yang sama, gadget. Sama seperti saya, gadget adalah solusi tercepat untuk menenangkan anak ketika dia rewel atau ‘mengganggu’ saat ibunya sibuk mengerjakan orderan.

Berkaca dari kasus kerabat saya dan temannya, somehow saya merasa kami juga akan mencapai titik yang sama dengan mereka, jika saya tidak segera menghentikan kebiasaan ini. Apalagi tanda-tanda ke arah sana sudah mulai terlihat. Lagipula, apa gunanya saya resign dan memilih bekerja dari rumah, mengorbankan karir kantoran demi alasan mengurus Sachi, kalau nyatanya toh saya tetap sibuk sendiri, dan Sachi hanya berteman dengan gadget. Akhirnya saya sampai pada keputusan, oke Sachi harus puasa gadget.

Sekarang, Sachi sudah sibuk bermain di luar rumah lagi bersama teman-temannya, setiap hari. Mainan kesukaannya adalah main bola, perosotan, atau sepeda. Dia main setiap hari sampai langsing dan gosong. Dia juga sudah bisa merangkai beberapa kata menjadi kalimat walaupun kadang terbalik balik. Dia sudah bisa diajak mengobrol dan menjawab pertanyaan sederhana. Dia sudah bisa bernyanyi lagu-lagu sederhana walaupun tidak lengkap liriknya. Dan dia sudah jauh lebih stabil dan tenang secara emosi.

Bagaimana cara saya menghentikan kebiasaannya bermain gadget

Dua minggu pertama adalah masa terberat. Saya pernah membaca status seorang teman di laman facebook,  jika ingin menghentikan kebiasaan anak bermain gadget, orangtuanya juga harus berhenti bermain gadget di depan si anak. Kalau tidak, si anak akan merasa diperlakukan tidak adil dan berpikir, kenapa aku dilarang bermain gadget sementara ayah dan ibuku bisa bebas memegang gadget kapan saja. Jadi saya dan suami berjanji untuk tidak memegang gadget di depan Sachi. Setiap ada orderan masuk, saya membalasnya di tempat lain yang tidak terlihat Sachi. Di kamar mandi, di dapur, di luar rumah, di mana saja asalkan jauh dari pandangan dia. Begitu juga jika ada telpon masuk. Minggu pertama puasa,  Sachi memang merengek heboh meminta jatah gadget, terutama malam hari menjelang tidur. Tapi kami kuatkan diri untuk tidak menyerah memberikannya gadget. Pelan-pelan kami alihkan perhatiannya dengan aktivitas lain, seperti bernyanyi, bermain permainan sensori, masak-masakan di ‘dapur’ nya, menggambar dengan crayon, sampai loncat-loncatan di kasur.

Begitu juga ketika jalan-jalan ke restoran misalnya. Jika dulu sambil menunggu makanan datang dia asik dengan tenang memegang gadget, sekarang saya membawa mainan dan peralatan gambar untuk mengisi waktunya agar tidak ingat dengan gadget.

Benar kata orang-orang tua, anak-anak itu sangat gampang teralihkan. Minggu ketiga puasa, Sachi sudah mulai lupa dengan yang namanya gadget. Yang tadinya selalu menagih, sudah tidak pernah dilakukan. Bulan kedua bahkan kami sudah bisa memegang handphone tanpa diminta Sachi. Saya sudah bisa membalas orderan customer di depan dia tanpa rebutan handphone, saya katakan padanya berulang kali kalau umi memegang handphone untuk kerja. Tapi tetap dengan frekuensi yang tidak seintensif dulu. Saya sekarang tidak selalu memegang handphone seperti dulu. Kegiatan membalas orderan pun lebih banyak saya serahkan ke asisten. Konsekuensi dari puasa gadget, kami jadi harus lebih kreatif memikirkan kegiatan untuk Sachi mengisi waktunya sebagai pengganti gadget. Kami jadi lebih sering main di luar, ke taman, berenang, atau sekedar makan-makan di restoran. Pulsa dan paket internet di handphone juga sekarang jauh lebih hemat. Dari biasanya habis dalam dua hari, sekarang bisa bertahan hingga satu bulan hehehe.

Tentu saja, pengalaman saya ini hanya untuk sekedar sharing dan berbagi cerita. Karena seperti yang saya sebutkan di atas, tiap anak memiliki perbedaan dalam merespon solusi. Dan metode yang saya lakukan belum tentu cocok diterapkan pada anak lain. Saya hanya ibu biasa yang berusaha agar anaknya tidak ketergantungan gadget. Tidak ada salahnya memberikan gadget ke anak jika kita yakin kita bisa mengontrolnya. Ibu-ibu sekarang sangat pintar dan kreatif untuk memilihkan anak-anaknya menu-menu khusus di gadget yang bisa mengasah kreatifitas dan kepintaran anak. Atau memberikan mereka lagu-lagu untuk merangsang kecakapan berbicara si anak. Semua tergantung bagaimana kita sebagai orangtua memanage waktu antara si anak dan gadget. Jika dapat dikontrol dengan baik, insyaAllah menurut saya semua akan fine-fine saja. Tapi jika teman-teman mulai merasa ada yang berlebihan dan tidak beres, tidak ada salahnya untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi keadaan.

Yang namanya puasa, tentu ada saatnya berbuka. Suatu saat saya akan mengenalkan (lagi) Sachi pada gadget, nanti di saat yang tepat. Semoga bermanfaat, dan happy parenting ;)